Search

Apakah syaikh ali hasan al halaby sesat murjiah?

Baca Juga :

 



BISMILLAH

(Copy Paste)


📌APAKAH SYAIKH ALI HASAN AL HALABY(رحمه الله) ITU MURJI'AH?


Kita mendengar berita bahwasanya Asy-Syaikh Ali Hasan Al-Halaby meninggal dunia, maka kita katakan semoga Allah Tabaroka wata'ala merahmati beliau dan menerima semua amal-amal sholeh beliau. Kepergian beliau menjadi kabar duka untuk kita para penuntut ilmu ahlussunnah waljama'ah, kita semua terpukul dengan kepergian beliau, semoga ilmu-ilmu beliau menjadi amal jariyah bagi beliau.


Nahh! di saat kita mendengar kabar wafatnya Syaikh Ali Hasan, saya temukan ada yang bertanya, apakah Syaikh Ali Hasan itu sesat?, apakah menyimpang dari sunnah?, dan macam-macam pertanyaan muncul kembali. Oleh karenanya jauh lebih baik jika kita kembali menyimak dan menelusuri kebenaran lebih dalam lagi, semoga bermanfaat bagi kita semua.


Saya ingin menyegarkan kembali dan kembali men share kepada antum dan antunna guna meluruskan kembali hal ini yang memang sudah dari dulu menjadi perdebatan para ulama, akan tetapi kita semua sepakat bahwa tentunya kita hanya mengikuti kebenaran saja dan menolak kebathilan. Mengenai tuduhan yang di timpa oleh Syaikh Ali Hasan Al Halabyرحمه الله maka kita akan bersama sama menyimak salah satu artikel Ustadz Abul Aswad al Bayaty yang semoga bermanfaat bagi kita semua.


#MARIMENYIMAK


❎Tuduhan Irja’/murji’ah terhadap Syaikh Ali Al Halaby


Oleh: Ustadz Abul Aswad al Bayaty


Bismillahirrahmanirrahim.


Alhamdulillah wash shalatu wassalamu ‘ala Rasulillah wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in, amma ba’du


Oya sebelum menulis lebih banyak lagi perlu diketahui bahwa ;


1- Yang melatar-belakangi munculnya tulisan sederhana ini adalah sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam ; “Barangsiapa yang membela kehormatan saudaranya maka Allah akan memalingkan wajahnya dari neraka di hari kiamat nanti.” (HR. Ahmad dan Tirmidzi, serta dishahihkan Asy Syaikh Al Albani dalam Shahihul Jami’ no. 6262).


2- Ketidak setujuan saya ini sifatnya tidak mutlak. Maksudnya jika ternyata kelak ketidak-setujuan saya ini salah, semoga Allah menganugerahkan kepada saya sikap legowo untuk menerima kebenaran. Sehingga saya bisa berubah dari tidak setuju menjadi setuju.


3- Saya dalam tulisan ini tidak sedang mewakili siapapun, atau instansi manapun. Menurut istilah yang pernah saya dengar (bisa benar bisa salah) independent kali yaa.


4- Saya tidak hendak memaksa orang lain untuk menyetujui ketidak setujuan saya.


5- Mungkin yang lainnya menyusul.


Ketidak setujuan saya yang hendak saya sampaikan di sini adalah berkenaan dengan beberapa hal yang dituduhkan pada Syaikh Ali Al Halaby diantaranya ;


Yang pertama => Tuduhan Irja’.


Beberapa waktu yang lalu ada seorang Ustadz yang ditanya dengan redaksi pertanyaan sebagai berikut :


“Apa benar pembagian iman menjadi dua, pokok iman yaitu pembenaran di hati dan ucapan di lisan, sedangkan amalan hanya menjadi penyempurnaan iman sebagaimana yang didakwakan oleh Syaikh Ali Hasan Al Halaby ?”


Sang Ustadz pun menjawab : Ini ndak benar ya ini pemahaman murji’ah, ini pemahaman apa, murji’ah. Syaikh Ali Hasan sudah ditegur dalam hal itu”.


Dari jawaban ini muncul pertanyaan dalam benak saya ; Lantas bagaimana dengan Syaikh Rabi’ bin Hadi Al Madkhaly yang juga mentolelir orang yang mengatakan bahwa Iman itu adalah pokok sedang amal adalah penyempurnanya sebagaimana pada tulisan beliau berjudul “Apakah boleh dituduh berpemikiran irja’ orang yang mengatakan : Iman adalah pokok sedang amal adalah penyempurna”. 


Dan Syaikh Rabi’ menulis pada catatan kaki : “Jawabannya adalah tidak, kenapa ? karena ini akan memberikan konsekwensi untuk menyesatkan para imam islam”.


Bahkan pada halaman ke-3 di dalam tulisannya tersebut Syaikh Rabi’ berkata : “Pada hari ini kita menemui satu pokok diantara pokok-pokok Haddadiyah yang rusak yang menyatakan bahwa ; Barangsiapa mengatakan bahwa iman adalah pokok sedang amal adalah penyempurnanya maka ia murji’/orang murji’ah.


Dan aku akan menukil perkataan para imam ahlis sunnah serta para pembesar sunnah yang menyatakan bahwa iman adalah pokok sedang amal adalah penyempurnanya”.


Kemudian Syaikh Rabi’ menukilkan perkataan para imam yang menurut beliau memiliki perkataan bahwa iman adalah pokok sedang amal adalah penyempurna/cabang. Diantara para imam tersebut adalah :


1- Ibnu Mandah di dalam kitabul iman : 1/331-332.


2- Ibnu Nasr Al Marwazy di dalam Ta’dzimu Qadris shalat : 2/701-702.


3- Ibnu Taimiyyah di dalam majmu fatawa : 7/637.


4- Ibnu Qayyim Al jauziyah di dalam I’lamul Muwaqqi’in ; 1/171-174.


5- Ibnu Rajab Al Hanbaly di dalam Jami’ul Ulum wal Hikam ; 1/151.


6- Syaikh Abdurrahman bin Hasan di dalam Fathul majid ; 8-9.


7- Sulaiman bin Abdillah bin Abdil Wahhab di dalam Taisir Azizil hamid ; 114.


8- Abdullatif bin Abdurrahman bin Hasan Alu Syaikh di dalam Misbahudz Dzolam ; 17


9- Abdurrahman As Sa’dy di dalam Taisir Karimir Rahman ; 425.


Apakah tuduhan irja’ juga akan diarahkan kepada beliau Syaikh Rabi’ ??? atau kepada minimalnya 9 orang imam tersebut diatas karena mereka menyatakan (menurut Syaikh Rabi’) bahwa iman adalah pokok sedang amal adalah penyempurna ???


Memang menurut berita yang saya baca, Syaikh Rabi’ pada akhir-akhir ini juga melontarkan tuduhan irja’ kepada Syaikh Ali. Cuma tuduhan irja’ tersebut beliau sampaikan secara global, dengan alasan bahwa dahulu beliau membela Syaikh Ali dari tuduhan irja’ & menyalahkan fatwa Lajnah Daa’imah terhadap Syaikh Ali karena beliau berharap agar Syaikh Ali kembali dari kesalahannya.


Namun akal saya kok tidak bisa nyambung ya dan justru timbul pertanyaan-pertanyaan yang belum saya temukan jawabannya sampai sekarang.


1- Kesalahan apakah gerangan yang dilakukan Syaikh Ali kala itu ???


2- Kemudian bagaimana bisa seorang ulama sekaliber Syaikh Rabi’ mengharapkan ruju’nya Syaikh Ali dengan cara membela pemikiran irja’ ???


3- Bagaimana pula bisa terjadi fatwa Lajnah Daa’imah salah kala itu, lantas menjadi benar di masa sekarang ???


Aduhai seandainya Syaikh Rabi’ menunjukkan di sisi mana letak pemikiran irja’-nya Syaikh Ali.


Adapun Syaikh Ali justru TIDAK menggunakan lafadz pokok maupun cabang, syarat sah maupun syarat kesempurnaan ataupun lafadz jinsul amal. 


Dan beliau menyatakan bahwa beliau dan guru beliau Imam Al Albani meyakini bahwa amal merupakan “ruknun asliyyun fil iman”, kemudian beliau berkata, “Lantas apa yang akan kita katakan pada orang yang menuduh kami & Syaikh kami sampai sekarang, menuduh bahwa kami tidak menjadikan amal bagian dari iman”. (Lihat : Ar Rad Al Burhany : 158).


Mari lihat pula jawaban Asy Syaikh Al Imam Ibnu Baz rahimahullah ketika beliau ditanya ; Para ulama yang mengatakan tidak kafirnya orang yang meninggalkan amal jawarih bersamaan dengan dia mengucapkan syahadatain dan keberadaan pokok iman di dalam hatinya, apakah mereka ini murji’ah ???


Beliau menjawab ; “Ini adalah ahlus sunnah wal jama’ah, barangsiapa meninggalkan puasa, atau zakat, atau haji tidak diragukan bahwa hal itu merupakan dosa besar menurut para ulama akan tetapi menurut pendapat yang benar hal itu bukan kufur akbar.


Adapun meninggalkan shalat yang rajih hal itu adalah kufur akbar jika ia bersengaja meninggalkannya. Adapun meninggalkan puasa, zakat dan haji adalah kufur duna kufrin”. Selesai ucapan beliau (Majalah Al Furqon edisi 94 hal : 11-12, melalui kitab At Ta’rif wat Tanbi’ah ; 114 Oleh Syaikh Ali Al Halaby).


Akankan tuduhan irja’ juga diarahkan kepada beliau ???


Al Imam Ibnu Utsaimin rahimahullah pun tidak jauh berbeda jawabannya ketika beliau ditanya ; Seseorang mengucapkan Lailaha illallah ikhlas dari hatinya, membenarkan, tunduk serta patuh. Akan tetapi ia tidak beramal kebaikan dengan anggota badannya/amal jawarih sama sekali padahal ia mampu melakukannya.


Apakah orang ini masuk katagori tahtal masyi’ah ataukah kafir ???


Jawaban ; “Aku katakan alhamdulillahirabbil ‘alamin.


Apabila ia tidak shalat maka ia kafir meskipun mengucapkan Lailaha illallah (Hukum orang yang tidak shalat ini diperselisihkan oleh ahlus sunnah sebagaimana fatwa beliau yang akan datang-pent).


Seandainya ia membenarkan dengan ucapan Lailaha illallah serta ikhlas, demi Allah ia tidak akan meninggalkan shalat karena shalat merupakan hubungan antara manusia dengan Allah azza wa jalla”.


Sampai beliau mengatakan, “Adapun amal-amal yang lain jika manusia meninggalkannya maka ia tahtal masyi’ah/dibawah kehendak Allah, maksudnya ; Seandainya seseorang tidak berzakat misalnya, ini tahtal masyi’ah. Karena Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam ketika menyebutkan hukuman orang yang tidak berzakat mengatakan ; kemudian diperlihatkan jalannya, bisa jadi ke syurga bisa jadi ke neraka (HR Muslim 987).


Dan sudah ma’lum seandainya orang tadi kafir maka tidak mungkin ia memiliki peluang masuk syurga. Dan puasa serta haji demikian juga barang siapa meninggalkanya tidak kafir, dia tahtal masyi’ah akan tetapi ia menjadi hamba Allah yang paling fasiq”. (Al Ajwibah Al Qathariyyah : 11-13).


Masih dalam kitab yang sama beliau Imam Ibnu Utsaimin ditanya ; Apakah perselisihan yang terjadi dalam hukum orang yang meninggalkan shalat adalah perselisihan yang masuk dalam ranah ahlis sunnah atau tidak ???


Jawaban beliau ; “Iya ia adalah perselisihan yang masuk dalam ranah ahlis sunnah. Ahlus sunnah berselisih dalam hal ini sebagaimana mereka berselisih tentang wajibnya wudhu dikarenakan daging onta dan perselisihan yang lainnya”. (Al Ajwibah Al Qathariyyah : 16).


Khilaf tentang hukum orang yang meninggalkan shalat adalah khilaf yang terjadi diantara sesama ahlis sunnah sejak dahulu kala hingga hari ini. Data serta fakta akan hal ini teramat sangat banyak sekali dan diketahui oleh para penuntut ilmu pemula sekalipun. Maka tidak boleh membid’ahkan kelompok yang memilih tidak kafirnya orang yang meninggalkan shalat.


Jadi orang yang mengatakan tidak ada amal jawarih yang jika ditinggalkan menjadi kafir bukan berarti mengeluarkan amal dari cakupan iman (ingat ini adalah masalah at tarku/meninggalkan, berbeda dengan al fi’lu/melakukan, sehingga kita tidak boleh mengambil kesimpulan bahwa hal ini memberikan konsekwensi pembatasan kekafiran dengan juhud saja).


Lihatlah banyak para ulama mengatakan bahwa shalat, zakat, puasa, haji adalah merupakan rukun akan tetapi mereka tidak mengkafirkan orang yang meninggalkannya. Amal yang jika ditinggalkan tidak menyebabkan kafir, tapi ia tetap menjadi rukun. Apakah mereka ini menganut faham irja’ ??? Jawabannya tidak karena mereka menjadikan amal jawarih sebagai rukun iman, orang yang meninggalkannya akan berkurang imannya.


Berbeda dengan murji’ah yang tidak memasukkan amal dalam cakupan iman sehingga orang yang tidak shalat sekalipun sama imannnya dengan yang shalat, hendaknya kita berhati-hati.


Kemudian juga fatwa Lajnah pun tidak sedikit yang menganggapnya sebagi sebuah kesalahan. Diantara para ulama yang tidak menyetujui fatwa Lajnah Daa’imah terhadap Syaikh Ali adalah ;


1- Al Imam Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah, beliau menuturkan ; “Ini adalah suatu kesalahan dari Lajnah Daa’imah dan aku merasa terganggu dengan adanya fatwa ini. Fatwa ini telah memecah-belah kaum muslimin di seluruh negri sampai-sampai mereka menghubungiku baik dari Amerika maupun Eropa. Tidak ada yang mengambil manfaat dari fatwa ini melainkan takfiriyun (tukang mengka­firkan) dan tsauriyun (para pemberon­tak).” Beliau juga berkata : “Saya tidak suka keluarnya fatwa ini, karena membuat bingung manusia. Dan nasehatku kepada para penuntut ilmu agar tidak terlalu berpegang teguh dengan fatwa fulan atau fulan.” (At-Ta’rif wat Tanbi’ah : 15).


2- Syaikh Abdul Muhsin Al ‘Abbad Al Badr hafidzahullah, Ketika Syaikh Ali Abu Haniyyah berkunjung kerumah ahli hadis madinah Asy Syaikh Abdul Muhsin Al Abbad, banyak pertanyaan yang beliau ajukan kepada ulama sepuh ini yang ketika itu ditemani oleh putranya Syaikh Abdurrazaq Al Badr. Diantara isi pertanyaan adalah tentang ulama Yordania yang beliau rekomendasikan untuk mengambil ilmu dari nya. Maka Syaikh Al ‘Abbad menjawab, “Ambillah ilmu dari Syaikh Ali Hasan serta saudara-saudaranya”.


Syaikh Ali Abu Haniyyah lantas menimpali, “Dan bagaimana dengan fatwa Lajnah Daai’mah wahai Syaikh ?”. Beliau menjawab. “Tidak berpengaruh sama sekali”. (Tuhfah Tolibil Aby : 41-42).


3- Syaikh Ubaid Al Jabiry hafidzahullah, beliau pernah ditanya dengan redaksi pertanyaan sebagai berikut


Pertanyaan ; Syaikh kami, kami mengharapkan komentar anda tentang apa yang didengungkan oleh para Qutbiyyun di sisi kami seputar fatwa Lajnah Daa’imah –semoga Allah senantiasa menjaganya- di dalam bantahannya terhadap Syaikh Ali Hasan Al Halaby tentang kedua kitabnya “At Tahdzir Min Fitnatit Takfir” dan “Shaihatu Nadzir”. Dan Allah telah memberikan manfaat bagi bangsa Al Jazair melalui dua kitab ini.


Khususnya orang-orang yang membawa pemikiran takfiri yang mana mereka ini mengatakan khususnya ketetapan Lajnah yang akhir-akhir (Lajnah menasehati penulis kedua kitab tersebut agar menuntut ilmu syar’i pada para ulama yang terpercaya aqidahnya). Dan sudah ma’lum bahwa Syaikh Ali Al Halaby bermulazamah kepada Syaikh Al Albani dalam waktu yang lama (hampir seperempat abad lamanya-pent).


Mereka mengatakan ; Maka dengan ini menjadi jelaslah bahwa di sana ada perbedaan antara ulama Hijaz dengan ulama Yordan, yaitu ulama Hijaz berada di atas sunnah, di atas kebaikan, di atas aqidah salafus salih. Sedang ulama Yordan artinya Syaikh Al Albani berada di atas aqidah Murji’ah baik Murji’ah Fuqoha’ maupun Ghulatul Murji’ah/Murji’ah yang extrim. Apa komentar anda atas hal ini ???


Jawab ; Pertama, Lajnah Daa’imah adalah ikhwan kami serta guru kami, dan kami mencintai mereka karena Allah. Kami tidak ridha jika ada penuntut ilmu pemula berani berbuat lancing kepada Lajnah.


Yang kedua ; Lajnah Daa’imah adalah manusia biasa. Walaupun mereka adalah ikhwan kami, guru kami, kecintaan kami namun mereka manusia yang bisa benar dan bisa salah. Tidak ada yang ma’shum selain rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam.


Yang ketiga ; Syaikh Ali Hasan Al Halaby adalah salah satu dari ikhwan kita salafiyyin yang terkenal dengan aqidah yang shahih serta manhaj yang lurus insya’Allah. Dan syaikh beliau Syaikh Al Albani adalah seorang Imam Sunnah –nahsabuhu kadzalika wallahu hasibuh- aqidah beliau shahih, manhaj beliau lurus dengan tazkiyah dari Samahatil Walid Al Imam Al Atsary Asy Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz, demikian pula dengan tazkiyah dari Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu Syaikh dan para ulama lainnya yang terkenal dengan ilmu, keutamaan serta ke imaman-nya.


Syaikh Ali Al Halaby telah membantah dengan bantahan yang santun serta sangat kuat, beliau telah membela dirinya sendiri. Barangsiapa ingin menghukumi Syaikh Ali maupun Lajnah Daa’imah hendaknya ia membandingkan fatwa Lajnah dengan kandungan kedua kitab tersebut. Jika ia mendapati Lajnah Daa’imah telah salah dalam fatwanya terhadap Syaikh Ali, ini tidak memadhoroti Lajnah karena kesalahannya merupakan tabiat manusia.


Dan saya yakin bahwa Lajnah Daa’imah akan ruju’ dari kesalahannya meskipun sampai sekarang mereka belum memberikan bantahan sedikitpun pada Syaikh Ali Al Halaby.


Dan jika ia mendapati bahwa Lajnah Daa’imah benar di dalam kritikannya terhadap kedua kitab tersebut, maka ia menghukumi Syaikh Ali meskipun beliau adalah saudara kami kecintaan kami, akan tetapi kebenaran lebih kami cintai. Kebenaran lebih kami cintai dari Lajnah Daa’imah dan dari Syaikh Ali. Mereka semua adalah kecintaan kami namun kebenaran lebih kami cintai.


Yang ketiga atau Yang keempat ; Bahwa asal dari pengkafiran serta penghukuman pada orang yang berhukum dengan selain hukum Allah sudah akau jelaskan pada kalian. Yaitu merinci, kami memilih pendapat untuk merinci, meski Lajnah Daa’imah mengatakan yang sebaliknya.


Adapun kami mengikuti apa yang telah ditetapkan oleh Syaikh kami Samahatusy Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah dan Syaikh Al Albani rahimahullah serta apa yang telah ditetapkan oleh para imam salaf, kami memilih pendapat untuk mentafshil/merinci wallahu a’lam. (Rekaman kaset berjudul “An Nasihatush Sharihah Ilal Jazairil Jarihah” side B”).


Pada kesempatan yang lain Syaikh Ubaid Al Jabiry ditanya tentang dua kitab Syaikh Ali Al Halaby yaitu ; At Ta’rif wat Tanbi’ah dan kitab Al Ajwibah Al Mutalaa’imah yang merupakan bantahan terhadap Lajnah Daa’imah. Beliau menjawab ; “Aku mendapati keduanya sebagai bantahan yang sangat bagus, sangat kuat. Di dalam keduanya terdapat adab dan kekuatan ilmiyyah yang luar biasa”. (Kaset rekaman berjudul “Al Ajwibah As Salafiyyah ‘Alal As’ilatis Suwaidiyyah”). 


4- Fadhilatusy Syaikh Husain bin Abdul Aziz Alu Syaikh hafidzahullah. Beliau seorang ahli ushul serta imam dan khotib Masjid Nabawy, beliau pernah ditanya : “Fadhilatusy Syaikh – jazakumullahu khoiron- Apa pendapat Anda tentang fatwa yang dikeluarkan oleh Lajnah Daa`imah seputar dua kitab Syaikh Ali bin Hasan hafidzahullah “At Tahdzir” dan “Shaihatu Nadzir”, bahwa kedua kitab tersebut menyeru kepada pemikiran Murji’ah, bahwasanya amal bukan syarat sahnya iman, padahal kedua kitab tersebut tidak membahas sama sekali tentang syarat sah atau syarat sempurnanya iman?!”


Beliau menjawab :


“Pertama-tama wahai saudaraku, Syaikh Ali dan Masyayikh di atas manhaj yang satu. Dan Syaikh Ali, beliau adalah saudara besar seperti para masyayikh yang mengeluarkan fatwa tersebut. Beliau mengenal baik mereka dan mereka juga mengenal baik beliau. Mereka saling mencintai (karena Alloh -pent). Syaikh Ali telah diberi oleh Alloh ilmu dan pengetahuan -wa lillahil hamdu- yang akan dapat mengobati perkara ilmiah antara beliau dan Masyayikh. Dan perkara ini -alhamdulillah- masih di tengah perjalanan menuju titik terang kebenaran.


Adapun Syaikh Ali dan guru beliau Syaikh Al Albani dan yang di atas manhaj sunnah tidak diragukan lagi -walillahil hamdu- berada diatas manhaj yang diridhai. Dan Syaikh Ali sendiri -walillahil hamd-termasuk yang membela manhaj Ahli sunnah wal jama’ah.


Fatwa Lajnah tidaklah memvonis Syaikh Ali sebagai Murji’ah dan ini tidak mungkin dilakukan oleh Lajnah!! Lajnah hanya berbeda pendapat dan berdialog dengan Syaikh Ali. Adapun orang lain yang menginginkan dari munculnya fatwa ini untuk menvonis syaikh sebagai Murji’ah, maka aku tidak faham (apa maksud mereka). Dan saya kira saudara-saudaraku tidak memahaminya seperti itu. Mereka para Masyaikh sangat menghormati dan menghargai beliau.


Dan Syaikh Ali telah menjawab dengan jawaban ilmiah dalam kitab “Al Ajwibah Al Mutalaa’imah ‘ala fatwal Lajnah Daa’imah” sebagaimana yang dilakukan oleh salafush sholeh. Tidaklah ada diantara kita seorang pun melainkan bisa diambil ucapannya atau ditolak kecuali Rasul Shallallahu ‘alaihi wa Salam seperti yang dikatakan oleh Imam Malik rahimahullahu :


Semua ucapan kadang bisa diterima


dan terkadang bisa ditolak kecuali Rasul


Demikianlah keadaan umat ini, terkadang ditolak dan terkadang diterima ucapannya. Akan tetapi manusia secara tabiatnya terkadang saat pembicaraan atau dialog terdapat sedikit nada keras sampai para sahabat radhiyallahu ‘anhum juga demikian, seperti yang terjadi antara Abu Bakar dan Umar dan selain mereka dari kalangan para sahabat.


Kesimpulannya bahwa fatwa ini menurutku tidak memvonis dan tidak menghukumi Syaikh Ali Murji’ah, akan tetapi fatwa tersebut hanyalah suatu dialog seputar buku beliau. Dan Syaikh Ali -semoga Allah selalu memberinya taufiq- ketika menulis “Al Ajwibah Al mutalaa`imah” setelah munculnya fatwa tersebut bukan untuk membantah, namun hanya sekedar menjelaskan manhaj beliau dan guru beliau Syaikh Al Albani rahimahullah. Kami yakin dengan seyakin-yakinnya bahwa Syaikh Ali dan guru beliau Syaikh Al Albani rahimahullah amat jauh sekali dari pemikiran Murji’ah seperti yang telah aku katakan dahulu.


Syaikh Ali misalnya kalau aku tanya tentang apa itu iman? demikian juga dengan Syaikh Al Albani, maka tidaklah kami dapatkan sedikitpun dari ucapan mereka yang berbau Murji’ah yaitu bah­wasanya amal bukan termasuk bagian dari iman. Bahkan ucapan-ucapan Syaikh Al Albani rahimahullahu jelas-jelas menyatakan bahwa iman adalah keyakinan dalam hati, ucapan dalam lisan dan perbuatan anggota badan, bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan kemak­siatan.


Saya kira Syaikh Ali menyetujuiku dalam hal ini yaitu bahwasanya fatwa Lajnah bukan seperti yang didengungkan oleh sebagian orang bahwa Syaikh Ali itu Murji’ah. Sekali-kali tidak, mereka para Masyayikh tidak mengucapkan seperti ini. Mereka hanya berdialog seputar kitab tersebut. Dan tidaklah para salaf dahulu berdialog kecuali karena rasa kasih sayang dan kecintaan mereka terhadap sunnah dan untuk membela sunnah. Terlebih lagi dialog tersebut bukan tentang keseluruhan kitab akan tetapi bagian kecilnya saja.


Samahatusy Syaikh Abdul Aziz Alu Syaikh mufti Kerajaan Saudi Arabia ter­masuk orang yang amat cinta terhadap Syaikh Ali dan aku tahu benar akan hal ini. Beliau sangat amat menghormati dan selalu mendoakan Syaikh Ali sampai setelah Syaikh Ali berjumpa dengan beliau, Samahatusy Syaikh tetap seperti itu.


Beliau juga amat menghormati dan mencintai Syaikh Al Albani rahimahullah sejak dahulu kala. Aku mengetahui hal ini semenjak Samahatus Syaikh mengajar di kuliah Syariah tahun 1406 H, beliau selalu menyebut nama Syaikh dengan pujian dan doa.


Syaikh Al Albani dan para masyayikh di Saudi Arabia dipersatukan oleh satu hal yaitu manhaj salafush sholeh. Seandainya kita bersatu diatas hawa nafsu maka sungguh kita akan berpecah-belah. Akan tetapi inilah perwujudan kasih sayang yang benar dan jujur.


Adapun kalau ada orang ketiga yang mengambil fatwa Lajnah Daimah ini dan bergembira ria karena sesuai dengan hawa nafsu mereka, tapi mereka mening­galkan yang tidak sesuai dengan mereka maka inilah jalannya ahli bid’ah.”. (Ar Rodd Al Burhany : 256-259).


5- Bahkan Syaikh Rabi’ bin Hadi hafidzahullah sendiri dulu ketika ditanya tentang fatwa Lajnah Daa’imah terhadap Syaikh Ali beliau menyatakan dalam rekaman kaset berjudul “Syubhat Hizbiyyin war Radd ‘alaiha”, “Ali Hasan Al Halaby diantara punggawa/pembesar dakwah salafiyyah insya’Allah barokallahu fikum”. 


Pada kesempatan lain beliau ditanya : Apa pendapat anda tentang orang yang berbicara bahwa Al ‘Allamah Al Albani adalah sumber bid’ah murji’ah dan murid-murid beliau mewarisinya ???


Jawab : Kita memohon pada Allah keselamatan, aduhai seandainya mereka mengatakan Sayyid Quthb adalah sumber kesesatan, Hasan Al Banna adalah sumber kesesatan namun sangat disayangkan sekali. Bisa jadi orang ini adalah ahlus sunnah yang miskin yang akalnya dipermainkan oleh ahli kesesatan, hanya Allah saja tempat mengadu.


Al Albani mengatakan iman itu perkataan dan perbuatan serta keyakinan, bisa bertambah dengan ketaatan bisa berkurang dengan kemaksiatan. Dan ia telah membantah Al Ahnaf Murji’ah fuqoha’ apalagi Ghulatul Murji’ah/Murji’ah extrim. Kita memohon pada Allah keselamatan 2x. KENAPA MEREKA MEMERANGI MURID-MURID AL ALBANI DENGAN ATAS NAMA IRJA’ ??? kemudian meninggalkan Sayyid Quthb dan kitab-kitabnya tersebar ditengah-tengah umat menyuntikkan virus kesesatan yang besar diantaranya Hulul dan Wihdatul Wujud dan … dan …


Kita tidak pernah melihat dari mereka (para penuduh) satu kitab saja untuk membantah lelaki ini (Sayyid Quthb) dan kitab-kitabnya. Kita juga tidak mendapati dukungan dari mereka bagi orang yang berjihad membantah kesesatannya, tidak ada dukungan dari mereka. Dan mereja justru memprofokasi manusia agar membenci murid-murid Al Albani atas nama irja’ … irja’ … irja’. Dan seolah-olah bahaya yang mengancam umat islam itu berasal dari Al Albani dan murid-muridnya, ini berlebihan.


Dan ini bagian dari orang yang membawa keburukan bagi Al Manhaj As Salafy, yang menjadi target mereka bukan Al Albani, bukan murid-murid Al Albani namun tujuan mereka adalah meremehkan Al Manhaj As Salafy 


6- Syaikh DR Mahmud bin Abdurrazaq Ar Ridwany hafidzahullah, beliau adalah seorang ulama yang sangat pakar di dalam ilmu aqidah. Beliau menyatakan dengan sangat ilmiyyah letak kesalahan tuduhan irja’ yang dialamatkan pada Syaikh Ali. 


Terlepas dari itu semua Imam Al Albani rahiahullah pun pernah ditanya dengan redaksi pertanyaan sebagai berikut : Syaikh kami, sebagian penulis mensifati Al Akh Ali Al Halaby bahwasanya beliau mengatakan perkataan murji’ah dan Ahbasy di dalam masalah hukum & pengkafiran ! mereka juga mensifati beliau bahwa beliau itu jahil/bodoh serta mubtadi’/ahli bid’ah. Padahal kami mengetahui bahwa Syaikh Ali –kami tidak mentazkiyah atas Allah- memiliki hubungan dekat dengan engkau dari banyaknya majlis bersama engkau ?


Dintara jawaban beliau ; “Saudara kami Ali Al Halaby bukan seorang murji’ah dan beliau tidak mengatakan melainkan aqidah salafush shalih”. (Tuhfatu Tolibil Aby : 27).


Bahkan yang lebih mencengangkan lagi adalah kesediaan beliau Imam Al Albani untuk membantah orang yang berbeda aqidahnya dengan aqidah Syaikh Ali. Beliau menyatakan ; “Aqidah Al Akh Ali Al Halaby sama dengan aqidah imam yang tiga (Ibnu Baz, Al Albani, Ibnu Utsaimin) dan apabila aqidahmu (Muhammad Abu Ruhayyim dan dia ini salah seorang yang melontarkan tuduhan irja’ pada Syaikh Ali) berbeda dengan aqidah Al Akh Ali maka aku siap duduk untuk mendebatmu meskipun waktuku sempit”. (Tuhfatu Tolibil Aby ; 24 Oleh Syaikh Ali Abu Haniyyah).


Yang kedua => Klaim bahwa Syaikh Ali memiliki perkataan yang membatasi kekufuran dengan juhud & ingkar saja.


Alangkah baiknya seandainya ada yang berkenan menunjukkan di mana perkataan tersebut bisa di dapat. Karena setahu saya klaim tersebut juga tidak benar. Justru Syakh Ali menyatakan kekufuran bisa terjadi dengan hati, ucapan serta perbuatan dalam banyak kitab


Diantarannya di dalam Ar Radd Al Burhany : 31 beliau menyatakan : “Kekufuran itu bisa terjadi dengan hati, lisan dan jawarih, baik itu kufrut takdzib, juhud, ‘inad, nifaq, I’radl dan syakk”.


Syaikh Prof DR Shadiq Al Baidhony hafidzahullah yang merupakan salah satu ulama Madinah Nabawiyyah bertanya via surat pada Syaikh Ali : Apakah anda berpendapat bahwa kekufuran itu terbatas pada juhud, takdzib serta istihlal/penghalalan dalam hati saja?”.


Jawab beliau : Tidak, bahkan macam-macam kufur itu sebagaimana yg ma’ruf menurut para ahli ilmu sejak dulu sampai sekarang. Dan aku telah menukil perkataan Imam Ibnu Qayyim Al jauziyyah dlm Madarijus salikin tentang macam-macam kekufuran di dalam kitabku Shaihatu Nadzir sebelum 15 th lalu.


Dan sangat disayangkan kitab tersebut salah satu kitab yang ditahdir sebagian isinya oleh Lajnah Daaimah yang mulia dengan menisbatkan/menuduhkan kepadaku pembatasan kufur dengan juhud. Pembatasan kekufuran dengan juhud, takdzib serta istihlal adalah pembatasan yang batil, dan penisbatan perkataan tersebut kepadaku tidak kalah batilnya.


Dan aku telah menjelaskan hal tersebut di dalam kitab-kitabku yang baru diantaranya Al Ajwibah Al Mutalaa’imah, At Tanbihat Al Mutawa’imah, At Tabshir Bi Qawa’id At Takfir, At Ta’rif wat Tanbi’ah.

Dan mari kita lihat sejenak beberapa pernyataan Syaikh Ali Al Halaby di dalam kitab-kitab yang beliau sebutkan diatas. Diantaranya beliau mengatakan : Sesungguhnya kekufuran yang mengeluarkan dari agama sebagaimana yang dinyatakan oleh para ulama ahlis sunnah wal jama’ah banyak jenisnya dan bukan hanya satu jenis saja ; Kufrut Takdzib, Juhud, ‘Inad, Nifaq, I’radh, dan Syakk”. (Tanbihat Mutawaa’imah ; 215-216, at Ta’rif Wat Tanbi’ah : 99-100).


Dan sebagaimana telah berlalu Syaikh Ali Al Halaby menukilkan bahwa kekufuran bisa terjadi baik dengan hati, lisan maupun amal jawarih (Lihat Ar Radd Al Burhany ; 31).


Di dalam kitab Shaihatu Nadzir dengan jelas dan tegas Syaikh Ali Al Halaby menyatakan dengan menukil dari Imam Ibnu Qayyim Al Jauziyyah : Adapun kufur akbar ada 5 macam Kufrut Takdzib, Kufru istikbar wa Iba’, Kufru I’radl, kufrusy Syakk, dan kufrun nifaq’.


Lantas dijelaskan rincian dari masing-masing pembagian kufur akbar tersebut. (Lihat Shaihatu Nadzir ; 47-48 Oleh Syaikh Ali Al Halaby, demikian pula di dalam kitab Al Ajwibah Al Mutala’imah ; 11-16 Oleh Syaikh Ali Al Halaby).


Lantas dimanakah pembatasan itu ??? kalaupun disana ada perkataan beliau yang mengesankan seolah-olah beliau membatasi kekufuran dengan juhud & ingkar saja, maka marilah sejenak kita simak nasehat Syaikhul islam Ibnu Taimiyyah ketika beliau menuturkan ;


“Wajib hukumnya untuk menafsirkan perkataan orang yang berkata dengan perkataannya yang lain. Dan perkataannya diambil dari sini dan dari sana sehingga diketahui kebiasaan dia apa yang dia maksudkan dan dia inginkan dari perkataan tersebut.


Dan diketahui makna-makna yang biasanya makna itu dia maksudkan dari lokasi yang lain. Dan jika telah diketahui kebiasaan dan adat dari makna-makna dan lafadz-lafadz yang dia pakai, maka hal ini salah satu metode untuk mengetahui maksud dari si pembicara”. (Al Jawabush Shahih ; 4/44 Oleh Syaikhul islam Ibnu Taimiyyah, melalui perantara Tanbihat Mutawaa’imah : 216-218).


Syaikhul islam juga menyatakan ; “Dan sudah ma’lum bahwa perkataan seseorang yang rinci itu menghapuskan perkataannya yang global, dan bahwa perkataannya yang jelas itu di dahulukan dari perkataan yang samar”. (Ar Rod Alal Bakri : 2/623, melalui perantara Soddut Tasyni’ ; 218).


Metode Syaikhul islam inilah yang ditempuh oleh Syaikh Ali Al Halaby (Dan selayaknya juga ditempuh oleh para penuntut ilmu syar’i secara umum) ketika beliau menukil perkataan Imam Abdurrahman As Sa’di di dalam kitab Al Irsyad Ila Ma’rifatil Ahkam : 203 yang mengesankan seolah-olah beliau membatasi macam kekufuran dengan juhud saja. Imam As Sa’di mengatakan ;


“Orang yang murtad adalah orang yang kafir setelah keislamannya entah itu dengan perkataan, perbuatan, keyakinan ataupun dengan keraguan/bimbang. Dan batasan kekufuran yang mencakup semua jenis kekufuran dan macamnya adalah juhud terhadap syariat yang datang dari rasul shalallahu ‘alaihi wa sallam atau juhud terhadap sebagiannya”.


Syaikh Ali Al Halaby mengomentari ucapan Imam As Sa’di ini dengan berujar ; “Hal ini tidaklah menafikkan antara keberadaan juhud merupakan bab kekufuran, dengan keberadaan macam-macam kekufuran yang enam –sebagaimana yang telah aku sebutkan- yang telah dipaparkan di dalam kitab-kitab aqidah salafiyyah. Akan tetapi Imam As Sa’di menginginkan jenis kekufuran yang paling mayoritas”. (Lihat At Tahdzir min Fitnatil Ghuluwwi Fit Takfir ; 16).


Demikian pula ucapan Al Hafidz Al Hakamy, “Kekufuran itu asalnya adalah juhud serta ‘inad/membangkang yang mengakibatkan istikbar/sombong dan kemaksiatan”. (Dalam kitab A’lamus Sunnah Al Mantsuroh ; 170).


Perkataan ini dikomentari oleh Syaikh Ali Al Halaby ; “Hal ini tidak memberikan konsekwensi adanya pembatasan kekufuran dengan juhud saja –sebagaimana yang telah berlalu-“. (Lihat At Tahdzir Min Fitnatil Ghuluwwi Fit Takfir ; 17).


Ini sebagian contoh kasus perkataan ulama yang mengesankan seolah ada pembatasan kekufuran dengan juhud saja, padahal hakikatnya tidak seperti itu karena kita harus melihat perkataan-perkataannya di lokasi yang lain. Dan di sana masih banyak contoh yang lainnya.


Dan ketika Syaikh Ali menukil perkataan Imam Abu Ja’far At Thahawy yang membatasi kekufuran dengan juhud saja, beliau membantah hal ini dengan menukil perkataan Imam Ibnu Baz rahimahullah dengan redaksi sebagai berikut ;


“Pembatasan kekufuran dengan juhud saja, hal ini perlu ditinjau ulang karena seorang yang kafir yang tidak mengucapkan dua kalimat syahadat bisa masuk islam dengan mengucapkannya. Dan bagi orang kafir yang telah mengucapkan syahadat bisa masuk islam dengan bertaubat dari hal yang menyebabkan kekufuran.


Dan ia bisa keluar dari islam dengan tanpa juhud dikarenakan sebab-sebab yang banyak yang telah dijelaskan oleh para ahli ilmu. Diantaranya dengan mencela islam atau mencela Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam atau mengolok-olok Allah, Rasul-Nya, kitab-Nya atau sebagian syariat Allah hal ini berdasarkan firman Allah ; “Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nyakalian berolok-olok? tidak usah kalian minta maaf, karena kalian telah kafir sesudah beriman”. (QS : At Taubah : 65-66).


Diantara hal yang mengeluarkan dari islam juga adalah beribadah kepada patung atau berhala, atau meminta kepada mayit atau memohon perlindungan serta pertolongan dan lain-lain. Barangsiapa mengarahkan sebagian hal ini kepada selain Allah entah kepada patung berhala, malaikat, jin penghuni kubur dan lainnya dari kalangan makhluk maka sungguh ia telah berbuat syirik terhadap Allah dan tidak merealisasikan ucapan Lailahaillallah.


Semua hal ini mengeluarkan dari islam berdasarkan ijma’ para ahli ilmu, dan ini semua bukan permasalahan juhud. Dalil akan hal ini sudah sangat ma’lum di dalam Al Kitab dan As Sunnah. Dan para ulama telah menyebutkannya di dalam bab Hukum Orang Murtad silahkan dirujuk jika engkau mengnginkan”. (Lihat Shaihatu Nadzir ; 48-49 Oleh Syaikh Ali Al Halaby).


Berdasarkan hal ini maka saya tidak mengetahui atau minimalnya belum mengetahui Syaikh Ali membatasi kekufuran dengan juhud dan ingkar saja. Yang ada justru beliau membantah pembatasan kekufuran dengan juhud dan ingkar yang dituduhkan kepada beliau.


Setelah ini semua masihkah kita tega melontarkan tuduhan irja’ pada Syaikh Ali Al Halaby dan bahwasanya beliau membatasi kekufuran dengan juhud serta ingkar saja ???


Semoga bermanfaat


Penulis: Ustadz Abul Aswad al Bayaty

Follow akun sosial media Foto Dakwah, klik disini

Klik disini untuk sedekah dakwah, untuk membantu dakwah kami

Share Artikel Ini

Related Posts

Comments
0 Comments