Search

Bantahan tulisan Syaikh Al Bani bantah akidah Ibnul Qayyim dan Syaikh Ibnu Taimiyyah

Baca Juga :

 






La haula wala quwwata illa billah...!
Abdul Wahab Ahmad memberi vonis Penipu kepada ulama Sepemikiran Ibnu Taymiyyah

Cukup heran sebenarnya melihat kelakuan para pendaku Asy'ariyah Nusantara tatkala mengkritik lawan pemikirannya. Mereka tidak tanggung-tanggung berbuat zholim dengan memberi tuduhan keji kepada para ulama besar seperti sekelas Ibnul Qayyim RH dan semisalnya. Kali ini Influencer yang bernama Dodi ElHasyimi begitu entengnya menuduh Ibnul Qayyim sengaja melakukan tahrif (memelintir) perkataan Imam Al Baihaqi. Herannya perbuatan tidak beradab ini diamini pula oleh tokoh yang konon paling memahami kitab-kitab para ulama. 
Ya..siapa lagi kalau bukan Abdul Wahab Ahmad -semoga Allah beri hidayah kepadanya-. Bahkan lebih parah lagi dia berani menuduh Ibnul Qayyim dan para ulama yang sehaluan dengan Ibnu Taimiyah sebagai penipu. Wallahul musta'an.

Padahal andai mereka mencukupkan kritikan hanya pada konten materi maka tentu tidak akan menjadi masalah. Ironisnya kritikan mereka ini seringnya dibumbui dengan tuduhan keji dan kezholiman yang nyata. Dan lebih ironis lagi point yang dikritik justru jauh dari kebenaran.
Seperti artikel yang telah dirilis oleh Dodi El Hasyimi yang diberi judul KESALAHAN FATAL IBNUL QAYYIM KARENA MEYAKINI AQIDAH IBNU TAIMIYAH MASALAH ISTAWA DENGAN MAKNA ISTAQARRA. Lalu direpost oleh Abdul Wahab dengan caption yang berbunyi : TIPU-TIPU TAIMIYUN TENTANG MAKNA ISTAWA...

Kali ini Kami tidak akan membedah tulisan tersebut kata perkata sebagaimana yang biasa kami lakukan tapi kami akan mencukupkan pada point-point substansial saja. Karena kalau dibedah akan terseingkap begitu banyak keculasan-keculasan begitu pula kedustaan-kedustaan yang lain yang tentunya akan membuat tulisan ini menjadi sangat panjang. 
Berikut kami sebutkan tiga point utamanya beserta bantahannya:

Fitnah yang pertama : Ibnul Qayyim selalu membenarkan apa yang diucapkan oleh sang guru. Beliau bertaklid 100% kepada sang guru.
=====
Ini tentu dusta karena bagi pengkaji literatur Ibnul Qayyim tentu sangat tahu bahwa beliau banyak menyelisihi guru beliau Ibnu Taimiyah dalam begitu banyak permasalahan. Bahkan sebagian peneliti telah mengumpulkannya ke dalam bentuk tulisan ilmiyah. Misalnya di dalam persoalan wajibnya tamattu' saat berhaji bagi orang yang belum menyembeli Hadyu(hewan yang disembeli sebagai pengganti dalam ibadah haji) apakah khusus untuk Sahabat Nabi atau berlaku untuk seluruh ummat.
Beliau menukilkan pendapat Ibnu Taimiyah dan pendapat Ibnu Abbas lalu beliau mentarjih pendapat Ibnu 'Abbas dan berkata :
وأنا إلى قوله أميل مني إلى قول شيخنا
"Dan saya lebih cenderung memilih pendapatnya(Ibnu Abbas) dari pada pendapat syekh kami."(Zadul Ma'ad vol.2 hal.180).
Satu contoh ini sudah cukup meruntuhkan klaim bahwa Ibnul Qayyim selalu membenarkan pendapat gurunya. Atau klaim bahwa beliau 100% taklid kepada gurunya.

Fitnah kedua : Ibnul Qayyim mentahrif isi kitab Al Baihaqi yang berjudul Asma Wasshifat demi membenarkan pendapat sang guru tersebut. Lalu menukilkan kutipan Ibnul Qayyim berupa riwayat dari kitab Al Baihaqi. Dan mengatakan : 
Padahal Imam Al Baihaqi di dalam kitab tersebut bahwa riwayat tersebut Mungkar :
فهذه الرواية منكرة.
=====
Ini kedustaan yang lebih keji dari sebelumnya. 
Kalimat :
فهذه الرواية منكرة 
Memang betul ada di dalam kitab Al Baihaqi tersebut namun kalimat tersebut bukan komentar terhadap riwayat Ibnu 'Abbas yang berisi tafsir istawa dengan istaqarra yang dinukil oleh Ibnul Qayyim. 

Melainkan dia merupakan komentar terhadap riwayat yang kedua yang berbunyi :
وبهذا الإسناد في موضع آخر عن ابن عباس رضي الله عنهما في قوله ((ثم استوى على العرش)) يقول استوى عنده الخلائق القريب والبعيد وصاروا عنده سواء ويقال استوى استقر على السرير ويقال امتلأبه.
 فهذه الرواية منكرة وإنما أضاف في الموضع الثاني القول الأول القول الأول إلى ابن عباس رضي الله عنهما دون ما بعده.
Perhatikan kalimat فهذه الرواية منكرة sangat jelas bahwa riwayat yang dimaksud adalah riwayat kedua yang dikutip persis sebelum kalimat tersebut yaitu riwayat yang berisi tafsiran istiwa dengan istiwaul qorib wal ba'id( kesamaan makhluk di sisi Allah antara yang dekat dan yang jauh). 

Hal ini diperkuat oleh komentar Al Baihaqi setelahnya :
ومثله لا يليق بابن عباس رضي الله عنهما إذا كان الاستواء بمعنى استواء الخلائق عنده فإيش معنى قوله ((على العرش))؟
"Dan peryataan seperti itu tidak pantas dikatakan oleh Ibnu 'Abbas, seandainya memang benar makna istiwa adalah kesamaan makhluk di sisi-Nya antara yang jauh dan dekat lalau apa makna "di atas 'Arsy"?.

Sehingga sangat jelas bahwa kalimat "ini adalah riwayat mungkar" merupakan hukum untuk riwayat yang kedua. Bukan untuk riwayat pertama walaupun riwayat pertama juga dilemahkan oleh Al Baihaqi akan tetapi beliau jelas tidak mengatakan itu Riwayat Mungkar. 

Lalu mengapa Ibnul Qayyim tidak menyebutkan bahwa Al Baihaqi melemahkan atau menolak atsar Ibnu Abbas yang pertama tersebut?

Jawabannya : Lalu apakah hanya karena Ibnul Qayyim tidak mencantumkan hukum hadits Al Baihaqi anda serta merta menuduh beliau mentahrif?? Atas dasar apa?
Lagi pula itu hal yang lumrah dikalangan para ulama mujtahid karena bisa jadi mereka memandang hukum yang berbeda atau alasan lainnya. Apalagi Ibnul Qayyim dalam hal ini sedang berhujjah dari sisi bahasa bahwa orang arab memang sudah maklum di kalangan mereka memaknai istawa dengan istaqarra. Sehingga kelemahan riwayat Ibnu ‘Abbas tersebut pun tidak akan melemahkan pendapat beliau. Karena di dalam riwayat tersebut memang sudah disebutkan kata Istaqarra yang merupakan perkataan orang arab terlepas siapa yang mengatakannya.

Lalu, jika memang perbuatan Ibnul Qayyim tersebut disebut tahrif maka bagaimana tanggapan anda terhadap perbuatan Imam Jalaluddin Assuyuthi yang sama persis dengan apa yang diperbuat Ibnul Qayyim bahkan lebih ‘parah’. 
Beliau di dalam Tafsir Addurrul Mantsur vol.1 hal114 berdalil dengan menukil riwayat dari Al Baihaqi dan Addaruquthni tanpa menukilkan pendapat keduanya mengenai derajat perawi hadits seputar mahar pernikahan, padahal keduanya menyebutkannya, Assuyuthi berkata : 
أخرج الدارقطني والبيهقي في السنن عن ابن مسعود أن امرأة أتت النبي صلى الله عليه وسلم فقالت : يا رسول الله رأ في رأيك. فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم للذي خطبها : ((هل تقرأ من القرآن شيئا ؟)). قال نعم سورة البقرة وسورة مم المفصل. فقال((قد أنكحتكها على أن تقرئها وتعلمها.))
Perhatikan dengan baik, Assuyuthi hanya menukil hadist tanpa keterangan shohih atau tidak. Padahal Addaruquthni mengomentari setelah menyebutkan hadits itu dengan mengatakan : 
تفرد به عتبة وهو متروك الحديث 
"Hadits ini hanya 'Utbah sendiri yang meriwayatkannya dan dia adalah perawi matrukul hadits(yang ditinggalkan riwayatnya).( Sunan Addaraquthni vol.3, hal.179)

Begitupula Al Baihaqi beliau mengomentari hadits tersebut dengan mengatakan : 
عتبة بن السكن منسوب إلى الوضع، وهذا باطل لا أصل له.
"'Utbah bin Assakan dinisbatkan kepadanya pemalsuan hadits, dan hadits ini hadits yang bathil tidak ada asalnya."(Assunnanulkubro, vol.7 hal.243)

Apakah Assuyuthi juga bisa digelari mentahrif perkataan Addaruquthni dan Al Baihaqi?
Bagi orang yang punya adab terhadap ulama dan tau diri tentu jawabannya tidak.

Fitnah Ketiga : Dari manakah sumber Ibnu Ustaimin berani mengatakan ISTIWA' dengan makna ISTIQROR (menetap) ???

Al Kalbi dan Muqotil dalam kitab tafsirnya. Sebagaiman di riwayatkan oleh al Baghowi dalam tafsirnya:

(ثمّ استوى على العرش)
قال الكلبي ومقاتل: استقرّ1/235

Allah beristiwa di atas arasNya, berkata al Kalbi dan Muqotil, Istaqorro (menetap) [Maalimu tanzil 1/235].
======
Tidak benar. Tidak hanya Al Kalbi dan Muqotil. Masih banyak ulama lain yang memaknai istawa dengan istaqarra. Perhatikan beberapa nukilan berikut :

Ibnu Qutaibah yang dikenal sebagai imam para ahli Bahasa Arab murid dari Ishaq bin Rahuya dan Abu Hatim Assijistani Annahwi dan Ishaq Azzayyad Annahwi murid dari Al Mubarrid. Beliau di dalam kitab Takwil Mukhtalafil Hadits juga menafsirkan istawa dengan Istqarra beliau berkata :
الرحمن على العرش استوى أي استقر.

Begitu pula Ibnu Abdil Barr di dalam kitab Attamhid. Beliau berkata : 
الاستواء الاستقرار في العلو 
(Attamhid vol.7 hal.131)

Pendapat yang sama juga diucapkan oleh Imam Al Qosshob di dalam kitab tafsirnya. Beliau berkata :
لأن الاستواء في هذا الموضع هو الاستقرار فقوله ((استوى على العرش)) أي استقر عليه.
(Nukatul Qur'an hal vol.1,hal.426)

Intinya sangat banyak ulama khususnya pakar bahasa arab memaknai istiwa dengan Istiqrar makanya tak heran Ibnul Qayyim tidak terlalu memperhatikan sanad karena memang telah mutawatir dari begitu banyak ulama yang memaknai istawa dengan istaqarra.

Wallahu a'lam
Follow akun sosial media Foto Dakwah, klik disini

Klik disini untuk sedekah dakwah, untuk membantu dakwah kami

Share Artikel Ini

Related Posts

Comments
0 Comments