Search

Tidak ada sertifikat halal pada restoran atau produk, syubhat ? Apakah tetap boleh dikonsumsi ?

Baca Juga :

 



Tidak ada sertifikasi Halal = Syubhat? Mengingatkan syubhat atau menyebarkan syubhat?

____


Awalnya heboh ketika banyak produk difatwakan syubhat karena belum ber-SH oleh akun yang punya group 'pojok halal', yang tentunya tidak ada kaitannya dengan MUI sama sekali. 


Pendapat fatalnya yang keliru adalah semua produk yang tidak ada SH = AUTO SYUBHAT!! Meski dzatnya halal, titik kritisnya ada diproses yang MUNGKIN menggunakan dzat haram katanya. Sayangnya pendapat ini diamini oleh ratusan ribu followernya. 


🌺 Merasa terfitnah ketika dibilang telah menyebarkan pemahaman tidak ada SH = Haram?


Pernah dengar hadits shahih ini?

وَمَنْ وَقَعَ فِى الشُّبُهَاتِ وَقَعَ فِى الْحَرَامِ


"Barangsiapa yang terjerumus dalam perkara syubhat, maka ia terjerumus pada perkara haram." (HR Bukhari Muslim).


Jadi yang menyatakan syubhat jatuh ke haram bukan ustadz provaks yang dituduh menfitnah itu. Tapi Rasulullaah shalallaahu 'alaihi wa sallam sendiri. Apa iya mau menuduh Rasulullah memfitnah?


🌺Jika tidak ber SH = syubhat, mau menuduh Rasulullaah shallaahu 'alaihi wa sallaam, sahabat, dan ulama terdahulu semua menggunakan yang syubhat daripada yang halal?


Ingat, Rasulullaah dan juga seluruh Rasul sebelumnya tidak ada yang mengajarkan SH, semua yang mereka pakai tidak ber-SH. Pernyataan tidak ber-SH = syubhat, sama saja mengatakan produk yang kita pakai sehari-hari banyak yang syubhat karena yang belum ber-SH tentu jauh lebih banyak.


🌺Tidak ber-SH, bukan otomatis syubhat tapi balik ke hukum asalnya yaitu HALAL.


Syaikh Sa’ad bin Nashir Asy Syatsri menjelaskan dalam Syarh Al Arba’in An Nawiyah Al Mukhtashor:

Persoalan (fiqih) dibagi menjadi empat:

1. Yang memiliki dalil halal, maka dikembalikan ke dalil halal.

2. Yang memiliki dalil haram, maka dijauhi demi mengamalkan dalil larangan.

3. Yang terdapat dalil boleh dan haramnya sekaligus. Maka inilah masalah mutasyabih (yang masih samar). Menurut mayoritas ulama, yang dimenangkan adalah pengharamannya.

4. Yang tidak terdapat dalil boleh, juga tidak terdapat dalil larangan, maka ini kembali ke kaedah hukum asal. Hukum asal ibadah adalah haram kecuali jika ada dalil yang mensyariatkannya. Sedangkan dalam masalah jual beli, adat dan muamalah adalah halal dan boleh, kecuali ada dalil yang mengharamkannya.


Nah produk macam es krim, kacamata, galangan kapal masuk mana? Masuk kategori 4, tidak ada dalil yang mengharamkan juga tidak ada yang menghalalkan secara spesifik, sehingga balik ke kaidah asal yaitu HALAL.

 

اَألَصْلُ ِفِ الْمُعَامَلَةِ اَلَ بَاحَةِ اَلا أَنْ يَدُلُّ دَلِيْل


Hukum asal dari muamalah adalah HALAL kecuali ada dalil yang mengharamkannya.


🌺 Mengajak menjauhi syubhat atau menyebarkan syubhat dan mengajak suudzhan pada saudara sesama muslim?


Semua yang datang dari Muslim, baik itu dagangan, hadiah, semuanya HALAL, karena kita WAJIB berprasangka baik pada saudara kita.


“Sejumlah orang mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengatakan, “Wahai Rasulullah, sejumlah orang memberikan kepada kami daging, dan kami tidak tahu apakah mereka menyebut nama Allah ketika menyembelih apakah tidak?”

Rasulullah mengatakan,


سموا أنتم وكلوا


“Sebutlah nama Allah, dan makanlah.”

‘Aisyah mengatakan, “Mereka ini baru saja masuk Islam*” (HR. Bukhari no. 7398)


*Karena baru saja masuk Islam, ‘Aisyah mencurigai bahwa mereka belum mengetahui tatacara menyembelih dalam syariat Islam. Tapi Rasulullaah mengajarkan untuk berprasangka baik pada saudara kita karena ini kedudukannya WAJIB dan tidak ada keraguan di dalamnya, sedang makanan mengandung dzat haram atau tidak kita tidak bisa memastikan.


Maka kaidahnya, semua yang dari Muslim = HALAL. Jika anda membeli makanan di warteg misalnya, selama yang jual muslim, dzatnya secara dzahir halal, tidak perlu ditanya prosesnya, sudah punya SH atau tidak. Demikian juga daging sembelihan dari penjual muslim dan ahli kitab (Yahudi, Nasrani).


"Pada hari ini dihalalkan bagimu segala yang baik-baik. Makanan (sembelihan) Ahli Kitab itu halal bagimu, dan makananmu halal bagi mereka." [QS. Al-Maidah:5].


Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Tidak harus bertanya, siapa yang menyembelih, (apakah) orang Islam atau ahli kitab bagaimana cara menyembelihnya. Apakah membaca bismillah atau tidak? Bahkan tidak layak. Karena hal itu termasuk berlebihan dalam beragama. Sementara Nabi sallallahu alaihi wa sallam makan dari apa yang disembelih Yahudi tanpa menanyakan kepada mereka. (Risalah Fi Ahkami Udhiyah Wazakat karangan Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah)


Syekh Abdurrahman Barrak hafizahullah mengatakan, “Daging yang didatangkan dari negara kafir itu bermacam-macam. Kalau hasil daging dari pabrik atau perorangan milik ahli kitab dari kalangan Yahudi dan Nashrani tidak mengetahui cara membunuh hewan dengan seterum listri, mencekik atau memukul hewan di kepalanya seperti yang dikenal di barat. Maka daging ini halal berdasarkan Al-Maidah ayat 5" [https://islamqa.info/id/answers/88206/syarat-makan-dari-sembelihan-orang-yahudi-dan-nashrani]


Tidak berSH = Syubhat, Ini justru pernyataan syubhat, yaitu pernyataan rancu (samar-samar, atau kurangnya ilmu) dalam memahami syariat. Apa yang dari Muslim halal malah dikulik-kulik siapa tau haram. Seandainya memang penjual Muslim ga tau cara menyembelih secara halal, ga tau memproses secara halal, dosanya hanya dibebankan pada penjual, bukan pembeli. Kita tidak boleh ngulik-ngulik, bahkan seandainya dikulik jadi beneran haram itu adalah dosa besar menurut hadits:


إِنَّ أَعْظَمَ الْمُسْلِمِيْن جُرْمًا مَنْ سَأَلَ عَنْ شَيْءٍ لَمْ يُحَرَّمْ فَحُرِّمَ مِنْ أَجْلِ مَسْألتِهِ


“Sesungguhnya yang paling besar dosa dan kejahatannya dari kaum muslimin adalah orang yang bertanya tentang hal yang tidak diharamkan, lantas hal tersebut menjadi diharamkan karena pertanyaannya tadi.” (Riwayat al-Bukhāri: VI/2658/6859).


Syaikh Ibn ‘Utsaimin Rahimahullah berkata, “Menghalalkan yang haram terhadap apa-apa yang hukum asalnya halal adalah lebih ringan statusnya dibandingkan mengharamkan yang halal. Sebab, menghalalkan yang haram, apabila belum tampak jelas sisi pengharamannya, dibangun di atas hukum asal, yaitu kehalalan, di samping bahwa rahmat Allah mendahului murka-Nya. Sebab, pengharaman itu lebih menyempitkan dan memberatkan (dibanding penghalalan)" (Lihat: al-Qaulu’l Mufīd ‘alā Kitābi’t Tauhīd, bab Man Athā`a’l `Ulamā’ wa’l Umarā’ fī Tahrīm Ma Ahalla’Llāhu au Tahlīl Ma Harramahu fa Qad Ittakhadzahum Arbāba, vol. II, hal. 311. Lihat pula: al-Qawā`id al-Fiqhiyyah, karya Syaikh Ibn `Utsaimīn).


🌺🌺🌺


Sayangnya pendapat soal halal dan syubhat itu memang sudah keliru dari belasan tahun lalu saat isu halal haram vaksin dihembuskan dari tahun 2012.


Katanya mendukung ulama, tapi begitu ulama memfatwakan harus vaksin karena darurat, tetap tidak mau karena merasa tidak darurat. Ini kan sama saja meremehkan ulama seolah ulama seenaknya mengganti fatwa haram jadi boleh dipakai padahal tidak ada kedaruratan?


Tidak ber SH = Syubhat adalah pernyataan tepat? Tepat dari Hongkong!


Mila Anasanti

Follow akun sosial media Foto Dakwah, klik disini

Klik disini untuk sedekah dakwah, untuk membantu dakwah kami

Share Artikel Ini

Related Posts

Comments
0 Comments