Search

Ta’ziyah dan berbagai hukum yang terkait dengannya yang wajib kita ketahui

Baca Juga :

 



Bismillah

TA’ZIYAH DAN BERBAGAI HUKUM YANG TERKAIT DENGANNYA YANG WAJIB KITA KETAHUI

-Edisi Revisi-

By: Berik Said

DEFENISI TA’ZIYAH

Secara istilah makna ta’ziyah menurut Imam al Khirosyi rohimahulloh adalah: ‘menghibur orang yang tertimpa musibah dengan berbagai pahala yang dijanjikan oleh Allah, sekaligus mendo’akan mereka dan mayitnya”.

*Syarah al Khirasyi ‘ala Mukhtashor Kholil (II:129).

DALIL DISYARI’ATKANNYA TA’ZIYAH 

Ada banyak, ana sebutkan di sini satu saja.

Nabi shollalloohu ‘alayhi wa sallam bersabda:

ما من مُؤمنٍ يُعزِّي أخاه بمصيبةٍ إلَّا كَسَاه اللهُ من حُلَلِ الكرامةِ يومَ القيامةِ

Tidaklah dari seorang mukmin BERTA'ZIYAH KEPADA SUDARANYA YANG SEDANG TERTIMPA MUSIBAH, kecuali Allah akan memakaikan kepadanya pada hari kiamat mahkota kehormatan. “ 

*HR. Ibnu Majah [1601] dll. Syaikh al Albani rohimahulloh awalnya mendho'ifkan hadits ini, namun kemudian beliau mengoreksinya dan menilainya sebagai hadits yang shohih dalan as Shohihah [I:378])

HUKUM TA’ZIYAH KEPADA SESAMA MUSLIM

Empat madzhab SEPAKAT menyatakan hukum ta’ziyah terhadap seorang muslim adalah MUSTAHAB/DISUKAI.

Ini adalah pendapat dari madzhab

• Hanafi (Hasyiah Ibnu ‘Abiin [II:240]) ;

• Maliki (Syarah Mukhtashor Kholil [II:129])

• Syafi’i (al Majmu’ [V:305]); dan

• Hanbali (al Furu’ [III:403])

Ibnu Qudamah rohimahulloh bahkan menyatakan dimustahabkannya perkara ini telah menjadi IJMA’

Al Mughni [II:405]

HUKUM TA’ZIYAH KEPADA ORANG KAFIR

Jika bukan KAFIR YANG SEDANG MEMERANGI UMMAT ISLAM, maka jumhur ulama menyatakan DIPERBOLEHKAN, TENTU DITEKANKAN DENGAN BERUPAYA MENDA’WAHI MEREKA AGAR MASUK ISLAM

Ini adalah pendapat dari madzhab

• Hanafi (Hasyiah Ibnu ‘Abidin [VI:388]) ;

• Maliki (Mawaahibul Jalil [III:41-42]);

• Syafi’i (Mughnil Muhtaaj [I:355])

Dikatakan juga ini adalah satu satu dari pendapat Imam Ahmad rohimahulloh

(Al Inshoof [II:397])

Diantara salah satu dalil terkuat yang dijadikan jumhur  ulama atas hal ini adalah hadits berikut:

Anas rodhialloohu ‘anhu mengisahkan:

كان غلامٌ يهوديٌّ يخدُمُ النبيَّ صلَّى الله عليه وسلَّم، فمَرِضَ فأتاه النبيُّ صلَّى الله عليه وسلَّم يعودُه، فقَعَدَ عند رأَسْه، فقال له: أَسْلِمْ، فنظَرَ إلى أبيه وهو عِندَه، فقال له: أَطِعْ أبا القاسِمِ، فأسْلَمَ، فخَرَجَ النبيُّ صلَّى الله عليه وسلَّم، وهو يقول: الحمْدُ لله الذي أنقَذَه مِنَ النَّارِ

Ada seorang ANAK YAHUDI yang menjadi pelayan Nabi shollalloohu ‘alayhi wa sallam, lalu ia SAKIT. 

Maka NABI  shollalloohu ‘alayhi wa sallam DATANG UNTUK MENJENGUKNYA. 

Beliau shollalloohu ‘alayhi wa sallam lalu duduk di dekat kepalanya, lalu bersabda padanya: "Masuklah agama Islam!" 

Anak itu lalu melihat kepada ayahnya yang ketika itu sudah ada di sisinya -seolah-olah anak tadi meminta pertimbangan pada ayahnya-. 

Ayahnya berkata: "Taatilah kehendak Abul Qasim" -yaitu Nabi shollalloohu ‘alayhi wa sallam. 

Anak itu lalu menyatakan masuk Islam, 

Setelah itu Nabi shollalloohu ‘alayhi wa sallam keluar dan beliau bersabda: "Segala puji bagi Allah yang telah menyelamatkan anak itu dari siksa api neraka."

*HSR Bukhori [1356])

Sisi Pendalilan

Hadits di atas menunjukkan bahwa NABI shollalloohu ‘alayhi wa sallam TERKADANG BERTA’ZIAH KEPADA ORANG KAFIR YANG TIDAK MEMERANGI KAUM MUSLIMIN, DENGAN TUJUAN UTAMA MENYERU PADA ISLAM.

Adapula yang berpendapat kalau ta’ziyahnya saat sakit menjelang wafat dengan tujuan menjenguk dan menyeru pada Islam seperti pada hadits di atas boleh, dan istilahnya yang lebih pas kalau untuk menengok yang sakit adalah ‘IYADAH. 

Dan hadits di atas zhohirnya bicara ‘IYADAH.

Tetapi kalau melayat saat telah matinya orang kafir maka sebagian ulama mengharamakannya.

Ulama yang membolehkannya menyamakan IYADAH dengan TA’ZIYAH.

Wallaahu a’lam.

Agaknya yang lebih kuat adalah melayat kepada keluarga orang kafir yang baru saja ditinggal mati SELAGI BUKAN IKUT DALAM PROSESI PENYELENGGARAAN JENAZAH MEREKA DAN DENGAN TUJUAN UTAMA MELEMBUTKAN HATI MEREKA AGAR NANTI DIHARAPKAN MEREKA MASUK ISLAM maka boleh, insya Allah.

UCAPAN TATKALA BERTA’ZIAH KEPADA KELUARGA  MEREKA YANG MUSLIM

Ini adalah diantara kalimat ta’ziyah yang pernah diucapkan oleh Nabi shollalloohu ‘alayhi wa sallam kepada ahlul mayyit:

إنَّ لِلَّهِ ما أَخَذَ، وله ما أَعْطَى، وكُلٌّ عِنْدَهُ بأَجَلٍ مُسَمًّى، فَلْتَصْبِرْ، ولْتَحْتَسِبْ

“Sesungguhnya adalah hak Allah untuk mengambil dan memberikan sesuatu, segala sesuatu di sisi-Nya ada batas waktu yang telah ditentukan, oleh karena itu bersabarlah dan berharaplah pahala dari Allah (dengan sebab musibah itu).” 

*HSR. Bukhori [1284] dan Muslim  [923])

Berdo’a ta’ziyah dengan redaksi yang datangnya dari sunnah seperti  do’a ta’ziyah di atas tak diragukan aebagai redaksi do’a ta’ziyah terbaik sebagaimana dinyatakan oleh Syaikh al ‘Utsaimin rohimahulloh dalam Majmu’ Fatawa-nya [XVII:339].

Walau demikian, kalimat ta’ziyah itu tak mesti seperti di atas, boleh dengan ungkapan apapun yang intinya memberikan motivasi bagi ahlul mayyit dan mendo’akan kebaikan bagi mayitnya.

Hal ini sebagaimana dikatakan oleh Imam Nawawi rohimahulloh dalam al Adzkaar [hal.150].

BATAS WAKTU DISUNNAHKANNYA BERTA'ZIAH

Kebanyakan ulama menetapkan batas  seseorang maksimal berta'ziah kepada keluarga mayit adalah tiga hari.

Kalau sudah lewat tiga hari maka tidak disunnahkan lagi, dengan alasan itu  hanya akan memperpanjang masa berduka keluarga mayat. 

Adapun yang agaknya  pendapat yang kebih kuat adalah TIDAK ADA BATASANA KITA NERTA"ZIYAH KEPADA KEUARGA MAYAT.

Jadi kapanpun kita baru berkesempatan  mendatangi keluarga mayat untuk menyatakan belasungkawa dan nasehat agar sabar, dan mendoakan kebaikan bagi mayat dan keluarganya, maka tetap kesunnahannya berkaku walau lebih dari hari ketiga 

Karena untuk hal semacam itu tak ditemukan nash yang membatasi harinya.

Ini adalah pendapat dari:

*Madzhab Syafi'i (al Majmu'  (V:306);

*Sebagian ulama madzhab Hanbali (al Inshof (II:396);

*Syaikh bin Baaz (al majmu'-nya (XIII:379);

*al 'Utsaimin ( al Majmu'-nya (XVII:340); dan

*Al Albani -rohimahumulloh- dalam Ahkaamul Janaa'iz (hal.165).

HUKUM MENGUMUMKAN KEMATIAN DI MEDSOS 

Seperti mengumumkannya di WA, Twitter, FB, dan lain-lain.

Dulu saat Raja Najasyi wafat di negeri lain (Ethipia), maka Nabi shollalloohu ‘alayhi wa sallam menyampaikan berita itu kepada para shahabatnya rodhialloohu ‘anhum, dan meminta agar para shahabatnya menyolatjenazahkan secara ghaib untuknya dan mendoakan kebaikan baginya.

Hal ini sebagaimana terdapat dalam hadits dari Abu Hurairoh rodhialloohu ‘anhu yang berkata:

نَعَى النَّجَاشِىَّ فِى الْيَوْمِ الَّذِى مَاتَ فِيهِ ، خَرَجَ إِلَى الْمُصَلَّى ، فَصَفَّ بِهِمْ وَكَبَّرَ أَرْبَعًا

Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam MENYIARKAN  KABAR  KEMATIAN NAJASYI PADA HARI KEMATIANNYA. Lalu beliau keluar menuju tempat shalat dan membentuk shaf para jama’ah, lantas melaksanakan shalat jenazah dengan empat kali takbir.” 

(HSR. Bukhori [1245]).

Atas dasar hadits ini ulama MEMBOLEHKAN hal ini SELAGI TIDAK DENGAN BERLEBIHAN MEMUJI MAYAT DAN DENGAN MERATAPINYA.

Syeikh  Utsaimin rohimahulloh berkata:

وأما الإعلان عن موت الميت : فإن كان لمصلحة مثل أن يكون الميت واسع المعاملة مع الناس بين أخذ وإعطاء ، وأعلن موته لعل أحداً يكون له حق عليه فيقضى أو نحو ذلك : فلا بأس"

“Adapun pengumuman informasi akan kematian si mayit, jika hal itu dilakukan untuk kemaslahatan, seperti jika si mayit tersebut memiliki muamalah yang luas (dikenal banyak orang) antara pernah menerima atau memberi, maka (boleh) diumumkan kematiannya, karena bisa jadi ada seseorang yang mempunyai hak kepadanya maka akan ditunaikan atau yang semisalnya. Dalam hal ini tidak apa-apa”. 

*Majmu’ Fatawa wa Raosa-il Al Utsaimin [XVII:461)

Adapun jika pengumuman kematian itu dimaksudkan untuk BERLEBIH-LEBIHAN DALAM MEMUJI MAYAT SERAYA MERATAPINYA,  maka ini terlarang dan termasuk AN NA’YU (MERATAPI MAYAT) yang dilarang keras dalam syari’at.

Hal ini sebagaimana dikatakan oleh Imam Nawawi rohimahulloh:

وإنما المراد نعي الجاهلية المشتمل على ذِكر لمفاخر وغيرها

Yang terlarang adalah mengumumkan kematian ala jahiliah. Itulah pengumuman kematian diiringi dengan memuji-muji mayit”.

*Syarah Shohih Muslim [VII:21])

HUKUM MENGUMUMKAN KEMATIAN SESEORANG  DARI MASJID DAN LAIN-LAIN LEWAT PENGERAS SUARA 

Hal ini termasuk amalan yang TIDAK DISUKAI.

Dalam situs Islamweb disebutkan:

لكن النداء على الجنائز من خلال مكبرات الصوت في المسجد أمر لا ينبغي. قال المواق في كتابه التاج والإكليل لمختصر خليل : سمع ابن القاسم: سئل مالك عن الجنائز يؤذن بها على أبواب المساجد، فكره ذلك، وكره أيضًا أن يصاح في المسجد بالجنازة ويؤذن بها. وقال: لا خير فيه. وقال: لا أرى بأسًا أن يدار في الحلق يؤذن الناس بها، ولا يرفع بذلك صوته. اهـ والله أعلم.

Hanya saja menyiarkan kematian jenazah LEWAT PENGERAS SUARA DI MASJID ITU TERMASUK PERBUATAN YANG TIDAK DISUKAI.  

Al Muwafaq dalam kitabnya At Tajj wal Iklil li Mukhtashor Kholil berkata, ia mendengar Ibnul Qasim di mana ia berkata bahwa Imam Malik rohimhaulloh ditanya mengenai pengumuman berita kematian lewat pintu-pintu masjid, ia pun tidak suka. 

Begitu pula dengan berteriak di masjid mengenai kematian seseorang, itu pun tidak dibolehkan. 

Beliau katakan, “Hal Seperti itu tidak ada kebaikan.” 

Beliau  juga berkata : “Tidak mengapa jika ia berkeliling di majelis lalu mengabarkan berita tersebut tanpa mengeraskan suara.”

*https://www.islamweb.net/ar/fatwa/36358/

HUKUM MENGKHABARKAN KEMATIAN SEORANG MUSLIM BAIK SECARA LANGSUNG MAUPUN DI MEDSOS YANG DIIRINGI DENGAN PERMINTAAN KIRIMAN BACAAN SURAT AL FATIHAH ATAU LAINNYA

Tak diragukan lagi ini merupakan BID’AH YANG WAJIB DITINGGALKAN.

Sama sekali hal ini tak pernah dilakukan oleh Nabi shollalloohu ‘alayhi wa sallam maupun para shahabatnya rodhialloohu ‘anhum

Saat mengumumkan wafatnya Raja Najasyi maka Nabi shollalloohu ‘alayhi wa sallam tak pernah meminta shahabatnya mengirimkan bacaan surat Al Fatihah atau surat lainnya untuk dikirimkan pahala bacaannya bagi Raja Najasyi tersebut.

Andai ini sunnah sudah pasti saat itu Nabi shollalloohu ‘alayhi wa sallam akan melakukannya.

HUKUM PARA PELAYAT MEMBAWAKAN MAKAN UNTUK AHLUL MAYYIT

Telapak sepakat 4 madzhab menyunnahkan hal ini. 

Ini adalah pendapat dari Madzhab

• Hanafi (Tabyiinul Haqoo’iq [I:246]);

• Maliki (Mawaahibul Jalil) [III:37]

• Syafi’i (al Majmu [V:319]) dan

• Hanbali (al Inshoof [II:393])

Dalil yang menunjukkan atas disyariatkan atas hal ini adalah hadits berikut:

Abdullah bin Ja’far rodhialloohu anhu menceritakan:

لَمَّا جاء نَعْيُ جعفرٍ قال رسولُ الله صلَّى الله عليه وسلَّم: ((اصنعُوا لآلِ جَعفَرٍ طعامًا؛ فقد أتاهم ما يَشْغَلُهم، أو أمْرٌ يَشْغَلُهم

"Ketika datang berita kematian Ja'far rodhialloohu ‘anhu, Rosululloh shollallohu 'alaihi wasallam bersabda: "BUATKAN HIDANGAN MAKANAN UNTUK KELUARGA JA’FAR, sungguh yang menyibukkan telah datang kepada mereka, atau perkara yang menyibukkan mereka (maksudnya mereka sedang tertimpa perkara duka atas wafatnya Ja’far rodhialloohu ‘anhu itu yang pasti menyibukkan mereka -pent.) "

*HR. Abu Dawud (3132); Turmudzi (998) dll. Kata al Albani rohimahulloh falam Shohih Sunan Abi Dawud (3132):'hasan'

HUKUM MENYEDIAKAN HIDANGAN MAKANAN ATAU MINUMAN BAGI YANG DIPERUNTUKKAN BAGI YANG BERTA’ZIYAH SEPERTI PADA MALAM KE SATU KE TIGA, DAN SETERUSNYA

Di Inonesia biasanya kegiatan ini disebut TAHLILAN.

Tak diragukan keluarga mayat menyengaja menyediakan hidangan makanan di hari-hari seprti itu adalah BID’AH YANG MUNKAR. 

Apalagi diserta ‘ritual’ tertentu seperti yang banyak diamalkan oleh mereka yang suka ‘tahlilan’.

Mengapa ?

Karena justru yang ada adalah PERINTAH NABI shollalloohu ‘alayhi wa sallam AGAR YANG MELAYAT YANG MEMBAWA MAKANAN UNTUK AHLUL MAYIT sebagaimana haditsnya di sebut di atas.

Hari ini kebalik… AHLUL MAYIT YANG MEMBERI MAKANAN PADA  PARA PELAYAT !

Karena itu ulama MEMBID’AHKAN perbuatan semacam itu.

Hal itu telah ditandaskan oleh

• Madzhab Hanafi (Tabyiinul Haqoo’iq [I: 246]);

• Madzhab Syafi’i (al Majmu’ [V:320])

• Sebagian ulama Madzhab Maliki (al Madkhol [III:275])

Dan para ulama kita juga memastikan bid’ahnya hal itu, diantaranyya ditegaskan oleh:

• Ibnu Taimiyyah [XXIV:316];

• Syaikh Bin Baaz (Fatawaa Nuur ‘alaa Darb [hal.344]);

• Syaikh al ‘Utsaimin (Majmu Fatawa-nya [XVII 278]), dan

• Syaikh al Albani -rohimahumulloh- (Ahkaamul Jana’iz [hal.256])

Walhamdu lillaahirobbil ‘aalamiin, wa shollalloohu ‘alaa Muhammadin…

Follow akun sosial media Foto Dakwah, klik disini

Klik disini untuk sedekah dakwah, untuk membantu dakwah kami

Share Artikel Ini

Related Posts

Comments
0 Comments