Search

Shohihkah hadits yang menyatakan bahwa aqiqoh / nasikah bisa juga dilaksanakan pada hari ke 14 atau 21 dari kelahairan bayi ?

Baca Juga :

 



Bismillah
SHOHIHKAH HADITS YANG MENYATAKAN BAHWA AQIQOH / NASIKAH BISA JUGA DILAKSANAKAN PADA HARI KE 14 ATAU 21 DARI KELAHAIRAN BAYI ?
By: Berik Said
Pembahasan ini ana bagi menjadi beberapa sub judul
HADITS YANG TELAH DISEPAKATI KESHOHIHANNYA TERKAIT HARI AQIQOH / NASIKAH ADALAH HARI KE 7 DARI KELAHIRAN BAYI
Sesungguhnya hadits yang keshahihannya hampir disepakati seluruh Ulama ahli hadits terkait kapan pelaksanaan aqiqah dari orangtua untuk anaknya adalah HARI KE TUJUH dari kelahiran bayi tersebut.
Ini haditsnya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
كُلُّ غُلاَمٍ رَهِينَةٌ بِعَقِيقَتِهِ تُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ سَابِعِهِ وَيُحْلَقُ وَيُسَمَّى
“Setiap anak tergadaikan dengan aqiqahnya, disembelihkan untuknya pada HARI KE TUJUH, dicukur rambutnya dan diberi nama". [HR. Abu Dawud no.2838]
PERKATAAN PARA AHLI HADITS TERKAIT DERAJAT HADITS DI ATAS
• Kata Imam Nawawi dalam Al Adzkar [hal.361]: ‘Shahih’;
• Kata Ibnu Daqiqiql ‘Id dalam Al Iqtirah [121]: ‘Shahih’;
• Kata Syua’ib Al Arna’uth dalam Takhrij Abi Dawud [2838]: ‘Shahih’;
• Kata Syaikh bin Baaz dalam Fatawa Nur ‘ala Darb [XVIII: 236]: ‘Shahih’.
• Kata Syaikh Muqbil dalam As Shahihul Musnad [455]: ‘ Shahih’;
• Kata Al Albani -rohimahumulloh- dalam Irwa’ul Ghalil [1165], ‘Shahih’.
Sekarang kita bahas:
REDAKSI HADITS YANG MENYATAKAN AQIQOH / NASIKAH BISA JUGA PADA HARI KE-EMPAT BELAS (14) ATAU DUA PULUH SATU (21) DARI KELAHIRAN BAYI
Buraidah radhiallahu ‘anhu berkata, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
العقيقةُ تُذْبَحُ لسَبْعٍ ، أوْ لِأَرْبَعَ عشرَةَ ، أوْ لِإِحْدى و عشرينَ
"Aqiqah disembelih pada hari ke 7 (TUJUH) atau hari ke 14 (EMPATBELAS) atau hari ke 21 (DUAPULUH SATU)".
Periwayat hadits di Atas
• Thobroni dalam Al Ausath [4882],
• Baihaqi [19771],
• Dailami dalam Al Fidaus [4232]
DERAJAT HADITS DI ATAS
Hadits di atas ternyata LEMAH karena dua alasan:
Pertama
Dalam sanad hadits diatas terdapat rawi yang bernama
إِسْمَاعِيل بن مسلم المكي أَبُو إِسْحَاق البصري
(Isma’il bin Muslim Al Maki Abu Ishaq Al Bashri),
Perkataan Para Kritkus atas rawi Tersebut
• Kata Abu Ahmad Al-Hakim: "Bukan rawi yang kuat disisi mereka (para ahli hadits)".
• Kata Al-Bazaar: "Bukan periwayat yang kuat".
• Kata Baihaqi: "Aku tidak mau berargumentasi dengan (hadits yang datang) darinya".
• Kata Ibnu Hibban: "Lemah, seringkali meriwayatkan hadits-hadits munkar dari orang-orang yang masyhur, dan membolak-balikkan sanadnya".
• Kata Ahmad bin Hanbal: "Munkarul hadits".
• Kata Ad Daraquthni: "Lemah, Matruk (Ditinggalkan haditsnya)".
• Kata Ali bin Al Madaini: "Lemah, tidak boleh dicatat haditsnya".
• Kata Bukhari -rahimahumullah ‘alaihim ajma’in-: "Ibnul Mubarak, Yahya bin Ma’in, dan Mahdi telah melemahkannya", dan dalam satu kesempatan berkata: "Sangat lemah".
Sebenarnya masih banyak kritikus hadits yang hampir bersepakat keseluruhannya melemahkan Isma’il bin Muslim tersebut.
Semua kutipan para kritikus hadits diatas kami ambil secara acak dan ringkas dari situs:
Kedua
QOTADAH -salah satu mata rantai periwayat hadits ini adalah seorang tabi’in- meriwayatkan hadits ini dari ‘ABDULAH BIN BURAIDAH.
Qotadah rohimahulloh ini sebenarnya orang yang kuat hafalannya dan dinilai adil oleh semua ulama.
Namun sayangnya Qotadah ternyata seorang MUDALLIS (suka menyamarkan hadits- yakni seakan ia meriwayatkan hadits tersebut MENDENGAR LANGSUNG dari perawi yang di atasnya) dalam hal ini dari ‘Abdullah bin Buraidah rodhialloohu ‘anhu.
Makanya Imam adz Dzahabi rohuimahulloh di samping memuji Qotadah rohimahulloh dari sisi kekuatan hafalan dan adilnya, dan sebenarnya ia seorang rawi yang dapat dijadikan hujjah, namun DENGAN SYARAT SAAT IA MERIWAYATKAN HADITS DARI RAWI YANG DI ATASNYA HARUS DENGAN REDAKSI JELAS BAHWA IA MEMANG MENDENGARNYA LANGSUNG.
Ini dikarenakan memang Qotadah rohimahulloh ini telah masyhur dikenal suka melakukan tadlis (penyamaran riwayat).
Berikut perkataan adz Dzahabi rohimahulloh atas Qotadah rohimahulloh :
وهو حجة بالإجماع إذا بين السماع ، فإنه مدلس معروف بذلك
‘Dia ini HUJJAH BERDASARKAN KESEPAKATAN ULAMA, (NAMUN DENGAN SYARAT) JIKA DIA MENJELASKAN DENGAN TERANG SIMA’ (BAHWA IA MENDENGAR LANGSUNG HADITS ITU); Hal ini dikarenakan IA TELAH DIKENAL SUKA MENTADLIS !
*Siyaar [V:271]
Seorang rawi yang dikenal Mudallis jika ia menyampaikan hadits TIDAK DENGAN LAFAZH JELAS BAHWA IA MEMANG MENDENGARNYA LANGSUNG dari perawi di atasnya, maka TIDAK BISA DITERIMA.
Nah hal ini tejadi pada hadits ini, di mana Qotadah rohimahulloh TIDAK DENGAN REDAKSI JELAS BAHWA IA MENDENGAR LANGUSNG HADITS INI DARI ABDULLAH BIN BURAIDAH rodhialloohu 'anhu.
Dengan demikian periwayatannya dalam hal ini tidak diterima.
Dan karena tak heran jika para ulama hadits menyatakan LEMAHNYA hadits tersebut dalam sub judul di bawah.
Penilaian Ulama Ahli Hadits Yang Melemahkan Hadits Tersebut
• Kata Al Hafizh rahimahullah dalam Fathul Baari [IX: 509], Dho’if.
• Kata Al Haitsami dalam Majma’uz Zawaaid IV:26], Dho’if.
• Kata Syaikh Al Albani rahimahumullah dalam Irwaa’ul Ghalil no.1170, Dha’if.
RIWAYAT LAIN YANG MENUNJUKKAN BOLEHNYA AQIQOH / NASIKAH PADA HARI KE 14 DAN 21
Sebenarnya ada lagi satu dalil lain yang sering dijadikan dalil oleh fihak yang membolehkan pula pelaksanaan aqiqoh / nasikah pada hari ke 14 dan 21, yakni MAUQUF dari pernyataan ‘AISYAH rodhialloohu ‘anha, yang inti menyatakan bolehnya melaksanakan aqiqah pada hari ke 14 atau 21.
Namun menurut Syaikh al Albani rohimahulloh Riwayat tersebut memiliki cacat karena keterputusan sanadnya (munqothi’)
Oleh karena itulah Ibnu Hazm rahimahullah menyatakan hadits yang disandarkan dari ‘Aisyah radhiallahu ‘anha dalam masalah ini adalah tidak sah. (Lihat Al Muhalla VII:529).
Syaikh Al Albani rahimahullah juga menyebut hadits yang disandarkan dari ‘Aisyah radhiallahu ‘anha ini sebagai hadits yang munqathi’ (terputus rangkaian sanadnya), dan mudraaj (hanya sisipan perawi).
Hal ini ditegaskan oleh Al Albani rahimahullah dalam Irwa’ul Ghalil [IV: 395-396]
JIKA HADITS YANG SHOHIH PELAKSANAAN AQIQOH ITU HANYA PADA HARI YANG KETUJUH, MAKA APAKAH PELAKSANAAN AQIQAH SELAIN HARI KE TUJUH TIDAK BOLEH / TIDAK SHAH ?
Dalam hal inI Ulama terbagi menjadi 3 pendapat:
PENDAPAT PERTAMA
Boleh, tetapi hanya PADA KELIPATAN DARI HARI KE TUJUH YANG BATAS MAKSIMALNYA YAKNI HARI KE 21.
Setelah hari ke 21, maka tidak boleh.
Dengan kata lain hanya membolehkan pilihan pada hari ke 7, 14, atau 21, dan bila telah lewat hari ke 21, maka tidak boleh lagi beraqiqah.
Ada yang mengatakan ini adalah pendapat ‘Aisyah rodhialloohu ‘anha.
Namun seperti telah ana sampaikan baru saja di atas bahwa periwayatan pada Aisyah rodhialloohu ‘anha ini ternyata LEMAH karena munqothi’nya.
Maka tak bisa dikatakan bahwa ini pendapat ‘Aisyah rodhialloohu ‘anhaa.
Namun ini memang pendapat dari :
Imam Syafi’i dan Imam Ahmad rohimahumalloh.
*Lihat Al Majmu [VIII: 431], Al Mughni [IX: 461], Fathul Maalik [VII: 105])
PENDAPAT KEDUA
Mereka mengatakan bolehnya pelaksanaan aqiqah di luar hari ke tujuh.
Mereka tidak membatasi pada maksimal hari ke 21.
Sebagian dari mereka membolehkan bebas waktunya asal hitungannya adalah kelipatan 7, jadi boleh hari ke 7,14,21,28,35,42,49, dan seterusnya.
Sebagian lagi bahkan membolehkan total tanpa ada batasan sama sekali, walau setelah hari ke 7 dari kelahiran sang bayi dan tidak mesti kelipatan 7, jadi boleh tanggal 8,9,10,21,28,75 dan seterusnya, pendeknya ‘SUKA-SUKA’.
Kami tidak merinci ulama yang berpendapat demikian dan sumbernya mengingat khawatir terlalu panjang dan membingungkan pembaca.
Yang ini sepanjang yang kami ketahui bahkan tidak terdapat penopang hadits yang dha’if sekalipun, karena kalaupun mau berpegang pada hadits yang dha’if yang telah kami sebutkan diatas, itu adalah hari ke 14 dan 21.
Tapi itu pun dha’if, jadi bagaimana pendapat ini bisa diterima ?
PENDAPAT KETIGA
Hanya MEMBATASI AQIQAH PADA HARI KE 7 SAJA.
Lebih dari itu, maka tidak lagi dianggap aqiqah.
Ini adalah pendapat dari
• Imam Malik (Lihat dalam Syarhul Al Khurasyi [III: 47];
• Ash Shon’aani (Subulus Salam Syarah Bulughul Maram [IV: 181];
• Syaikh Al Mubarokfuri rahimahullah (Tuhfatul Ahwaadzi Syarah Sunan At Tirmidzi [V:98]; dan
• Syamsul Haq Al Azhim Al Abadi (Aunul Ma’bud Syarah sunan Abi Dawud [VIII:28])
MANA YANG LEBIH KUAT ?
Tidak diragukan lagi, pendapat ketiga yang menyatakan bahwa AQIQOH HANYALAH PADA HARI KE 7 DARI KELAHIRAN BAYI merupakan PENDAPAT YANG LEBIH KUAT DAN LEBIH SELAMAT SERTA LEBIH DEKAT PADA NASH YANG SHOHIH.
Maka, hendaklah kaum muslimin berupaya sekeras mungkin kalau berniat mengaqiqahi bayinya, hendaklah pada hari ke 7, tidak sebelumnya dan tidak pula setelahnya.
Al Hafizh rahimahullah -seorang pentolan dan pakar hadits Madzhab Syafi’i- setelah menyebutkan hadits shahih tentang aqiqah itu hari ke 7, maka beliau lalu berkata:
وقوله يذبح عنه يوم السابع تمسك به من قال أن العقيق مؤقته باليوم السابع
“Dan perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: ‘Disembelih darinya pada hari ke 7 kelahirannya’, ini sebagai dalil bagi orang yang berpendapat bahwa WAKTU AQIQOH ITU PADA HARI KE 7,
وأن من ذبح قبله لم يقع الموقع
dan ORANG YANG MELAKSANAKANNYA SEBELUM HARI KE-7 BERARTI TIDAK MELAKSANAKAN AQIQOH TEPAT PADA WAKTUNYA.
وإنها تفوت بعده،
dan juga GUGUR AQIQOHNYA JIKA DILAKSANAKAN SETELAHNYA (LEWAT DARI HARI KE 7)
وهو قول مالك، وقال أيضا، أن مات قبل السابع سقطت العقيقة
Ini adalah pendapat Imam Malik rohimahulloh
Beliau berkata: "Apabila seorang anak meninggal sebelum hari ke 7, maka gugurlah pelaksanaan aqiqah baginya".
*Fathul Baari [IX: 594]
وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم
Follow akun sosial media Foto Dakwah, klik disini

Klik disini untuk sedekah dakwah, untuk membantu dakwah kami

Share Artikel Ini

Related Posts

Comments
0 Comments